Aksi lilin di Pekanbaru (BBC Indonesia/TOMY LEE)
BERITA INDONESIA TERKINI - "Saya korban Tragedi Mei 1998, dan ini Mei 2017, saya tak mau itu terulang untuk saya dan anak cucu saya. Karenanya saya harus ikut bersuara, dan bergabung dalam aksi solidaritas ini," Inez Sutanto berkata dengan tegas.
Inez, dengan lilin menyala di tangannya, memandang belasan ribu orang yang bergabung dalam aksi lilin solidaritas untuk Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama, di Tugu Proklamasi, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan, pada Mei 1998, rumah keluarganya hangus dibakar massa. Mereka berhasil menyelamatkan diri, dan membangun lagi kehidupan.
"Kami tidak mengungsi ke luar negeri, karena kami orang Indonesia, hidup kami di sini. Kalaupun saya lalu ke luar negeri, itu untuk kuliah," kata Inez.
Betapa pun, Inez mengatakan, sejak Peristiwa Mei 1998 itu kehidupan mereka tidak sama lagi.
"Peristiwa itu sangat traumatik bagi kami. Saya sendiri selama ini selalu tidak nyaman dengan keramaian, namun sekarang-sekarang saja saya membulatkan tekad untuk ikut dalam aksi lilin solidaritas untuk Ahok ini, karena saya kira sekarang kita tak lagi bisa cuma diam dan pasif karena minoritas," katanya pula.
Inez Sutanto dan pasangannya, James, merasa tak bisa lagi diam. (BBC Insonesia)
Beberapa tahun lalu Inez pergi ke Amerika Serikat, belajar biokimia dan biologi molekuler. Ia mendapat kesempatan untuk tetap tinggal dan bekerja di San Francisco, namun memutuskan untuk pulang ke Indonesia.
"Ini Tanah Air saya. Dan waktu melihat Pak Ahok jadi wakil gubernur, lalu jadi gubernur, saya senang karena meyakini bahwa tanah air saya sudah berubah, tak lagi seperti tahun 1998 ketika saya merasa bahwa minoritas hanya menjadi objek yang dimanfaatkan, diperas atau ditindas."
"Saya melihat harapan. Dan merasa, Indonesia adalah negara yang benar-benar dewasa, tak kalah dengan negara maju di seluruh dunia."
Semula ia menganggap penentangan pada Ahok di awal-awal menjabat gubernur menggantikan Jokowi, hanya datang dari segelintir golongan ekstrem, yang selalu ada di setiap negara.
Ia mulai merasa cemas ketika masalah etnis dan agama jadi begitu dominan dalam kampanye Pilkada, ditandai sejumlah unjuk rasa raksasa, 411 dan 212 khususnya.
Ribuan pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenuhi pelataran Tugu Proklamasi, Rabu (10/5/2017) malam untuk menghadiri acara bertajuk 'Malam Keadilan Atas Matinya Keadilan' sambil menyalahkan lilin. (Warta Kota/ Rangga Baskoro) (Warta Kota/ Rangga Baskoro)
Dan akhirnya, Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk pasal penistaan agama, kendati jaksa hanya menuntut satu tahun penjara percobaan dua tahun, untuk pasal permusuhan pada suatu golongan -dan bukan penistaan agama.
"Vonis ini lebih mengguncangkan dibanding kekalahan saat Pilkada," kata Inez sambil memapar keyakinannya bahwa hakim mengambil keputusan itu lebih karena tekanan massa dan bukan karena pertimbangan hukum dan akal sehat.
"Saya kecewa sekali. Kalau banyak warga Jakarta bisa dimanipulasi dengan isu SARA untuk membuat Pak Ahok kalah dalam Pilkada, ya gimana lagi, Itu bisa terjadi. Tapi tadinya saya kira hukum tetap akan independen, tak terpengaruh isu SARA dan tekanan massa. Tapi ternyata saya salah. Saya kecewa banget. Saya jadi trauma lagi dengan Tragedi Mei 1998."
"Ini bukan sekadar soal Ahok," katanya dalam bahasa Inggris.
"Ini tentang anak-anak saya nanti, cucu-cucu saya. Keturunan Anda juga, semuanya. Bahwa orang sehebat apa pun, sebagus apa pun, sebersih apapun, bisa disingkirkan begitu, dizalimi, karena berbeda keyakinan, berbeda kulit, karena minoritas.
"Saya kecewa dan sedih. Sesuatu yang sudah begitu bagus dibangun: demokrasi, kesetaraan, sekarang langsung runtuh oleh putusan itu."
Karena itu, Inez yang selama ini jauh dari politik, memutuskan bergabung dalam aksi lilin solidaritas untuk Ahok.
"Kita tak bisa lagi cuma diam, menerima, dan meminta Tuhan membukakan mata mereka. Kita harus ikut bersuara.'
"Kita tak bisa sekadar trauma dengan peristiwa Mei 1998. Kita harus ikut bersuara, bahwa yang seperti itu tak boleh terjadi lagi. Bukan cuma peristiwa kerusuhannya saja yang tak boleh terjadi lagi, tapi juga masalah SARA-nya, kebencian ras dan agama, dan suku, tidak boleh terjadi lagi," tandas Inez.
Inez tentu bukan satu-satunya penyintas Kerusuhan Mei 1998 yang tergerak untuk mulai bersuara. Penyintas 1998 dan keturunan Cina juga bukan satu-satunya yang merasa berkepentingan untuk terlibat dalam berbagai gerakan menentang isu SARA.
Aksi solidaritas pada Ahok juga tak terbatas di Jakarta: meluas ke berbagai kota di seluruh Indonesia, dan beberapa kota di luar negeri.
Ini untuk pertama kalinya isu non-Papua turut disuarakan di Papua. Markus Aruan, yang turut menggalang aksi itu mengatakan, itu karena kasus Ahok terasa berdampak bagi warga Papua.
"Yang begitu tinggi kedudukannya seperti Pak Ahok, bisa dibegitukan. Apalagi yang tak punya kedudukan, dan lemah, seperti kami-kami di Papua," katanya
Penggerak aksi di Yogyakarta, Pedro, mengatakan, bahwa solidaritas perlu diungkapkan, melengkapi langkah-langkah hukum.
"Kami ingin menunjukkan pada Pak Ahok, bahwa ia tak sendiri," kata Pedro.
"Penggunaan sentimen rasisme dan agama yang menimpa Pak Ahok, sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI. Isu itu tak boleh direproduksi di wilayah lain, dan kami perlu menegaskan bahwa hal seperti itu tak boleh terjadi lagi," tegas Pedro
Sejauh ini aksi lilin solidaritas sudah berlangsung di berbagai tempat di Jakarta, Yogyakarta, Pekanbaru, Bitung, Medan, Manado, Sorong, Atambua, Kupang, Rote, Soe, Toraja, Batam dan Alor.
Aksi sejenis masih dijadwalkan untuk berlangsung malam ini di Surabaya, Minahasa, Balikpapan, Semarang, Sabtu di Bandung, dan menyusul di kota-kota di luar negeri seperti London, Tokyo, empat kota di Belanda, dan sejumlah kota di AS dan Australia.
Sakong | Domino99 | BandarQ | AduQ | Bandar Poker | Poker | Capsa Susun
0 komentar:
Posting Komentar